Sejarah Kodam Iskandar Muda diawali oleh pertumbuhan kekuatan rakyat, waktu itu Pasca Proklamasi 17-08-1945, lapis demi lapis masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyatukan langkah dan membulatkan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah dicapai melalui tetesan darah, kristalisasi keringat, penuh pengorbanan, cinta dan untaian manik-manik kedukaan.
Teuku Nyak Arief Residen Aceh kala itu, menghimpun kekuatan-kekuatan yang terserak ini dalam wadah Angkatan Pemuda Indonesia (API).
Ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, seluruh kekuatan API menggabungkan diri, membangun Divisi V/TKR Komandemen Sumatera dibawah Pimpinan Kolonel Syamaun Gaharu. Setelah mengalami beberapa perubahan, TKR kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan Divisi V/TKR pun kemudian menjadi Divisi V/TRI pada tanggal 17 Februari 1946. Pada saat itulah Gajah Putih dipakai menjadi Lambang Institusi Militer di negeri ini.
Pada bulan Februari 1947, TRI Komandemen Sumatera dibagi menjadi 3 Sub Komandemen yaitu Sub Komandemen Sumatera Utara yang berkedudukan di Kutaraja, Sub Komandemen Sumatera Tengah berkedudukan di Bukit Tinggi dan Sub Komandemen Sumatera Selatan berkedudukan di Lahat. Komandemen Sumatera Utara pun dipisah menjadi 2 Divisi yakni Divisi Gajah I yang di Komandani oleh Kolonel Husein Yusuf dan Divisi Gajah II di Komandani oleh Kolonel Ahmad Tahir.
Pada tanggal 3 Juni 1947, nama Tentara Republik Indonesia (TRI) berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdasarkan Penetapan Pemerintah tanggal 7 Juni 1947. Di Aceh begitu juga daerah lain, seluruh kelaskaran dan badan perjuangan diharuskan melebur kedalam TNI.
Pada tanggal 21 Juli 1947, Agresi Militer Belanda I menghantui negeri ini. Untuk memperkuat pertahanan negara, pada bulan April 1947 kedua Divisi yaitu Divisi Gajah I dan Divisi Gajah II disatukan kembali menjadi Divisi X/TNI Komandemen Sumatera dengan kedudukan semula di Bah Jambi, kemudian beralih ke Bireun.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948, Indonesia dilanda prahara dan mengalami kekalutan. Para pemimpin ditawan dan pemerintahan mengalami kevakuman. Dalam sitiuasi seperti ini, Pemerintahan Militer pun segera dibentuk guna menyelamatkan eksistensi pemerintahan Negara Republik Indonesia, terutama agar RI tetap berjuang sebagai negara dan negara yang seumur jagung ini tetap ada. Jenderal Mayor Tituler Tengku Mohammad Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Pemerintahan Militer ini berlangsung hingga Pengakuan Kedaulatan RI melalui KMB tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Negeri Belanda.
Hingga akhir tahun 1949, Kodam Iskandar Muda masih berwujud benih yang menyemai. Ia belum berbentuk organ apalagi sebuah tubuh yang utuh. Embrio kehadirannya baru tampak ketika separatis muncul dan menyemak di daerah akibat ketidakpuasan terhadap kebijakan Pemerintah Pusat yang melakukan perampingan demi perampingan terhadap Divisi X/TNI Komandemen Sumatera dan pengerdilan eksistensi wilayah Aceh dari Provinsi menjadi sebuah Karesidenan dibawah pimpinan Sumatera Utara.
Atas semua ini, masyarakat Aceh tentu saja kecewa. Eksistensi kekecewaan kemudian diwujudkan dalam bentuk pemberontakan DI/TII dibawah kendali Tengku Mohammad Daud Beureueh. Hal itu terjadi pada tanggal 21 September 1953.
Situasi semakin memburuk karena ternyata Komando Tentara Teritorium I/BB yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon pun menyatakan memberontak dan melepaskan diri dari Pemerintah Pusat. Pernyataan Maludin Simbolon tersebut dinyatakan pada tanggal 22 Desember 1956 yang tentu saja membuat garis komando di Aceh vakum. Untuk mengisi kevakuman ini, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI A. H. Nasution serta-merta menetapkan berdirinya Komando Daerah Militer Aceh (KDMA) terhitung mulai tanggal 22 Desember 1956 berdasarkan Surat Keputusan No. KPTS 358/XII/1956 tanggal 27 Desember 1956. Letnan Kolonel Syamaun Gaharu dan Mayor Teuku Hamzah masing-masing ditetapkan sebagai Komandan dan Kepala Staf KDMA. Aura kehadiran Kodam Iskandar Muda mulai terasa disini.
Ketika terjadi reorganisasi di tubuh TNI AD pada tahun 1958, saat itulah Kodam Iskandar Muda benar-benar terlahir dan menunjukkan wujud sejatinya. Reorganisasi berdasarkan Penetapan Kasad No. TAP 05 tanggal 5 Agustus 1958 telah mengubah KDMA menjadi Kodam I/Iskandar Muda dengan otoritas membawahi 2 Korem, 3 Batalyon, 9 Kodim dan 131 Koramil. Inilah detik-detik bersejarah kehadiran institusi militer Kodam di Aceh bersama 16 Kodam lainnya di Indonesia. Dalam rentang waktu 28 tahun, Kodam I/Iskandar Muda memberi andil, kontribusi dan ikatan bathin yang tak mungkin dijelaskan dengan kata-kata terhadap suasana bathiniah masyarakat Aceh ketika itu. Bahkan atas prestasi dalam pengabdiannya, Kodam I/Iskandar Muda memperoleh penghargaan Sam Karya Nugraha dari Presiden pada Ulang Tahunnya yang ke-13 tanggal 22 Desember 1969.
Sayang semua ini kemudian berakhir tatkala reorganisasi di tubuh TNI AD lagi-lagi dilakukan. Kali ini tahun 1985, 17 Kodam yang ada dilikuidasi menjdi hanya 9 kodam ditambah satu Kodam Ibu Kota yaitu Kodam Jaya. Tak disangka Kodam I/Iskandar Muda yang telah menyatu dengan masyarakat Aceh ikut dilikuidasi berdasarkan Surat Perintah Kepala Staf Angkatan Darat No. Sprin 346/II/1985 tanggal 12 Pebruari 1985. Air mata haru dan wajah-wajah pilu benar-benar tampak ketika di Blang Padang pada tanggal 26 April 1985, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Rudini menggelar upacara pencabutan Kodam I/Iskandar Muda dari Aceh lalu meleburnya bersama Kodam II/Bukit Barisan dan Kodam III/Tujuh Belas Agustus di Sumatera Barat dan Riau menjadi Kodam I/Bukit Barisan. Hari itu Aceh kehilangan satu kebanggaannya Kodam I/Iskandar Muda pergi meninggalkan tanah pejuang.
Kepergian Kodam I/Iskandar Muda ternyata menimbulkan banyak masalah. Lima tahun setelah dilikuidasi, gangguan keamanan oleh kelompok separatis secara eskalatif terjadi di Aceh. Eskalasi pemberontakan dengan berbagai cara meningkat pesat Pasca Reformasi tahun 1998 di Indonesia. Teror, anarkisme, pembunuhan, penculikan, penyanderaan dan berbagai tindakan dehumanisasi menghantui kehidupan masyarakat di Aceh. Roda pemerintahan terkendala, ekonomi rakyat hancur, psikologis masyarakat degradatif dan suasana kultural betul-betul retak.
Melihat bayang-bayang kehancuran bangsa yang mengerikan ini, beberapa tokoh masyarakat dan para pejabat pemerintahan di Aceh atas nama masyarakat berinisiatif menemui Presiden dan DPR RI meminta Kodam dihidupkan kembali di Aceh.
Gayung ternyata bersambut, pemerintah menyetujui permintaan tersebut. Akhirnya pada tanggal 5 Pebruari 2002 Kodam Iskandar Muda hadir kembali di tanah rencong Aceh ini. Ia datang kembali berdasarkan Surat Keputusan Kasad No. Skep 1/I/2002 dan Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI Endriartono Sutarto berkenan meresmikannya dalam suatu upacara yang dihadiri oleh pejabat Militer, Sipil, Kepolisian dan Tokoh Mayarakat Aceh. Dalam upacara tersebut, Kepala Staf TNI AD melantik Brigadir Jenderal TNI M. Djali Yusuf sebagai Panglima Kodam Iskandar muda yang pertama Pasca likuidasi sekaligus menyerahkan Pataka Sangga Mara kepadanya.Dan wilayah dibawahnya meliputi Korem 011/Lilawangsa dan Korem 012/Teuku Umar.
Namun ternyata ahaya separatis GAM masih terus mengancam ketentraman dan kedamaian masyarakat di Bumi Nanggroe Aceh Darussalam dan juga membahayakan integritas serta kedaulatan Negara Kesatuan RI. Jalan damai yang selama ini diupayakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam penyelesaian masalah Aceh telah dilanggar dan dikhianati. Pemaksaan pembayaran Pajak Nanggroe dengan dalih untuk perjuangan, penyelundupan dan pemasokan senjata, pembakaran sarana dan prasarana umum, perekrutan anggota secara paksa dan terus menerus melakukan intimidasi terhadap masyarakat tetap saja dilakukan.
Akibat tindakan pemberontakan GAM yang sudah dibawah garis kepatutan dan toleransi yang dapat membawa kehancuran bagi sendi-sendi bermasyarakat dan bernegara maka Pemerintah RI atas permintaan dari tokoh-tokoh formal dan informal Aceh serta didukung oleh sebagian besar masyarakatnya, menerapkan Status Darurat Militer di seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Masyarakat sudah sangat jenuh dengan kehidupan yang selalu diwarnai dan dicekam oleh rasa takut akibat aksi teror, intimidasi dan provokasi yang selama ini dipraktekkan oleh Pemberontak GAM dalam aktivitas makarnya.
Akhirnya Presiden Megawati Sukarno Putri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 28/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Status Darurat Militer untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dilanjutkan dengan Keppres nomor 97/2003 tanggal 18 Nopember 2003 sebagai perpanjangan Status Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dengan ditetapkannya Status Darurat Militer maka Panglima Kodam Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Endang Suwarya ditunjuk sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah atau PDMD dan Kepala Staf Kodam Iskandar Muda Brigadir Jenderal TNI M. Yahya sebagai Kepala Staf Gabungan.
Kepercayaan dari Presiden selaku Penguasa Darurat Militer Pusat atau PDMP melalui Operasi Terpadu, menuntut tanggung jawab yang sangat besar untuk mengembalikan Aceh dalam situasi yang aman, tenang dan damai serta tetap dalam bingkai NKRI, baik pada level nasional maupun internasional.
Setelah perpanjangan status Darurat militer selesai, pemerintah menganggap perlu menurunkan status Darurat Militer menjadi status Darurat Sipil dengan alasan situasi keamanan sudah semakin kondusif. Akhirnya berdasarkan Keppres nomor 43/2004 tanggal 18 Mei 2004, status Darurat Militer dirubah menjadi status Darurat Sipil dengan Penguasa Darurat Sipil adalah Gubernur NAD yang kemudian dialihkan kepada Kapolda NAD. Dalam pelaksanaan status Darurat Sipil ini, Operasi Terpadu tetap dilaksanakan secara simultan dengan dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat.
DARMA BHAKTI KODAM ISKANDAR MUDA
Pertama. Aktif dalam Perang Kemerdekaan, termasuk melawan aksi propaganda Belanda di dalam dan luar negeri, melalui Radio Rimba Raya milik Divisi X/TRI, siarannya dapat didengar sampai ke manca negara seperti Thailand, Philipina, Australia dan India.Kedua. Menyelesaikan konflik DI/TII dan berhasil membawa Tengku M. Daud Beureueh beserta pengikutnya kembali ke pangkuan NKRI.
Ketiga. Melaksanakan Tugas Operasi Dalam Negeri seperti di Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Timor-Timur.
Keempat. Mempelopori pembangunan sarana dan prasarana pendidikan seperti Kampus Darussalam.
Kelima. Mempelopori dibentuknya Lembaga Kebudayaan Aceh.
Keenam. Mempelopori dibentuknya Olimpiade Daerah (KOIDA), sekarang disebut KONI.
Ketujuh. Membantu program pemerintah membangun daerah-daerah terpencil.
Kedelapan. Melaksanakan tugas Operasi Terpadu selama pelaksanaan Darurat Militer dan Darurat Sipil di Nanggroe Aceh Darussalam.